oleh : Deni Al Asyari
Setiap momen lebaran Idul Fitri, masyarakat Indonesia lekat dengan tradisi yang telah mengakar selama puluhan tahun. Tradisi tersebut adalah Halalbihalal.
Tradisi Halalbihalal ini, mungkin sebuah tradisi yang hanya ada di Indonesia. Di beberapa negara muslim lainnya, istilah Halalbihalal tidak ada. Hanya saja, istilah ini sudah sangat familiar di berbagai masyarakat dunia. Lantas apa makna Halalbihalal ini? Dan kapan sejarah pertama munculnya tradisi dan istilah Halalbihalal ini?
Istilah Halalbihalal di Indonesia sumbernya beragam. Umumnya masyarakat Indonesia menyebutkan istilah ini berasal dari KH Wahab Chasbullah, seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU). KH Wahab mengenalkan istilah ini kepada Presiden Soekarno pada 1948 atau setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuannya untuk mempertemukan para tokoh politik pada saat itu agar dapat mengurai ketegangan dan dinamika politik yang terjadi pasca-kemerdekaan.
Akan tetapi, jauh sebelum istilah Halalbihalal ini diperkenalkan oleh KH Wahab Chasbullah, Majalah Suara Muhammadiyah edisi No 5 tahun 1924 sudah mempergunakan istilah Halalbihalal dengan dua jenis tulisan (pengucapan), yaitu “Alal Bahalal, dan Chalal Bil Chalal.
Istilah Chalal Bil Chalal ini terdapat dalam tulisan Warga Muhammadiyah Asal Gombong, Rachmad. Ia saat itu menulis tentang “Idul Fitri”. Rachmad menjelaskan tentang pentingnya Chalal Bil Chalal sebagai sarana silaturahmi untuk meleburkan dan menyatukan perbedaan-perbedaan yang selama ini terjadi antar keluarga maupun masyarakat.
Kemudian pada 1926 M bertepatan dengan 1344 H, Majalah Suara Muhammadiyah kembali menampilkan istilah Halalbihalal dengan penulisan “Alal Bahalal”. Bedanya dengan terbitan tahun 1924, kalimat Halal Bi Halal ini (Alal Bahalal), lebih pada ajakan mengisi ruang advertorial majalah Suara Muhammadiyah untuk berhalalbihalal.
Redaksi Majalah Suara Muhammadiyah mengajak kepada warga Muhammadiyah yang tidak sempat bertemu dan bersilaturahmi karena faktor jarak atau kendala lainnya. Tujuannya adalah supaya tetap bisa melaksanakan Halalbihalal dengan cara menyampaikan iklan melalui majalah Suara Muhammadiyah.
Halalbihalal di majalah Suara Muhammadiyah ini, selain bermakna peleburan, penyatuan dan saling bermaaf-maafan, tampak dengan konsep tanpa tatap muka. Jika di masa pandemi ini kita tidak bisa melakukan aktivitas Halalbihalal dengan bertatap muka dan saling berkunjung antar saudara, bisa dengan cara virtual atau jarak jauh sebagaimana tradisi sejarah di majalah Suara Muhammadiyah tersebut.
Bagaimana pun kondisi berlebaran kita hari ini, semangat untuk saling memaafkan dan menyatukan tetap dapat berjalan dengan khidmat. Semoga. Amiin.
Sumber berita : https://www.anakpanah.id/suara-muhammadiyah-memperkenalkan-halalbihalal-sejak-1924/
Tinggalkan Komentar