oleh : Irmayanti dan Gita Lovusa
Dengan wajah tertunduk, saya mengakui bahwa saya punya banyak kesalahan dan sering menghadapi kegagalan selama berprofesi sebagai guru. Dan kalau guru salah, ada sekian ratus siswa yang mungkin merasakan akibatnya. Salah satu keslahan terbanyak yang pernah saya lakukan adalah : kegagalan menahan diri dari menilai siswa lewat kesan pertama, memberi stereotip tertentu dengan melihat sesuatu yang hanya ada di permukaan, dengan sempitnya ilmu dan dangkalnya pemahaman.
Saya tak bisa ingat lagi semua siswa yang telah saya perlakukan tak adil seperti di atas, namun ada satu nama yang masih melekat : Arlan Soebarna.
Di tempat saya mengajar, sekolah mengadakan evaluasi keseluruhan setiap tiga bulan, yang membahas semua komponensekolah, termasuk kedisiplinan siswa. Tahun lalu, nama Arlan Soebrata dari kelas sepuluh selalu masuk pembahasan. Hampir semua guru mengeluhkan kelakuannya yang membuat suasana belajar jadi tidak “kondusif” (saya letakkan kondusif dalam petik karena maknanya berbeda bagi tiap orang).
Hobi Arlan adalah nyeletuk di tengah-tengah pelajaran, saat guru menerangkan di dalam kelas. Kalau tidak berkomentar yang yang tidak perlu, ia akan menggunakan kata-kata guru untuk meledek salah satu teman. Yang lain riuh menanggapi, sehingga guru harus berusaha keras membuat anak kembali memerhatikan ucapannya.
Berbagai jurus dikeluarkan menghadapi Arlan. Guru sains mempersilahkan Arlan mempertanggungjawabkan kata-katanya di depan kelas, sementara guru lain membawa air comberan dalam gelas plastikuntuk mengancam Arlan agar tak buka mulut. Begitulah, saya menerima Arlan sebagai si tukang omong di kelas sepuluh sebagai sebuah kebenaran, tanpa mencari pembuktian.
Di tengah semester dua, berhari-hari saya tidak menemui Arlan di kelas. Taka ada kabar, sampai wali kelas mengabarkan, bahwa Arlan mengundurkan diri dari sekolah karena alasan biaya. Kelas lebih damai, komentar banyak guru, seakan mensyukuri perginya Arlan.
Lalu suatu hari, saya menemukan ruang guru yang kosong, emnyisakan hanya satu orang tenaga administrasi. Tak ada guru lain, bahkan guru piketpun tak ada. Takdir menentukan bahwa bahwa hari hampir semua izin bersamaan. Untungnya kelas XIIsudah tidak aktif belajar setelah UN. Maka saya menangani sendiri dua kelas untuk belajar materi yang saya mampu, Bahasa Indonesia. Yang terpikirkan saat itu berbalas pantun.
Saya pernah mencoba berbalas pantun di kelas X saat kami tiba pada materi puisi lama. Hasilnya amat memuaskan. Semua exited, bahkan siswa yang termasuk pendiam, berani berdiri dan melontarkan pantun untuk memuji diri sendiri atau membalas godaan orang lain. Kelas penuh tawa, hingga dua jam pelajaran terasa berlalu begitu cepat. Tak ada tekanan teori, atau ceramah sampai lidah kering dan anak mengantuk.
Maka itu, saya ingin mencobanya sekarang. Berbalas pantun. Tapi, kali ini siswa kelas X melawan siswa kelas XI, sambil berharap keceriaan yang sama akan tercipta lagi. Tapi kelas X tampaknya merasa agak khawatir berhadapan dengan kaka kelasnya. “Arlan udah nggak ada sih, bu.”
Dan amata saya terbuka. Suksesnya acara berbalas pantun tempo hari rupa-rupanya sebagian besar adalah campur tangan siswa tukang omong bernama Arlan Soebarna. Dia yang menjawab sebagian besar pantun yang dilemparkan pada kelompoknya dengan cepat, tanpa perlu mengoret-oret kata di atas kertas, da nisi pantun-pantunnya bikin perut kami sakit karena kebanyakan tertawa. Begitu kelompok lain merasa Arlan terlalu sering membalas, dia memasok pantun pada teman-temannya, bukan lewat tulisan, tapi lewat bisikan.
“Dia Cerdas” putus saya dengan hati sedih, ketika hari itu berakhir. Sedih karena saya baru melihat bahwa sebenarnya Arlan adalah abak dengan kemampuan verbal yang menonjol, justru setelah orangnya sudah tidak ada di sekolah. Tak heran dulu dia begitu banyak bicara. Karena itulah yang jadi kelebihannya. Kelebihan yang dianggap sebagai kekurangan oleh kami, para guru, yang mengaku tahu ilmu pendidikan dan psikologi anak.
Ah, anak ini tentu mengalami banyak sekali tekanan dalam waktu yang panjang. Tak banyak guru yang mau disela, bahkan tak banyak orang dewasa yang rela mendengar omongannya. Semua menyuruhnya, “diam! Dengarkan! Catat!. Tak ada yang membiarkan dia bicara, bercerita, diskusi, bahkan mungkin sekedar bertanya. Seperti kelinci yang dipaksa berenang, taka da yang membiarkan Arlan menjadi diri sendiri.
Saya tidak tahu diamana Arlan sekarang. Biar pecan depan, saat sekolah masuk kembali, saya tanyakan pada teman-teman sekelasnya. Saya merasa harus mencari Arlan. Untuk minta maaf padanya. Untuk menunjukkan bahwa ia akan cocok jadi tenaga pemasaran, public relation, pendongeng, juru kampanye, pelobi bisnis, atau orator. Untuk meyakinkan, bahwa sungguh, Arlan Soebrata juga istimewa.
Disadur dari salah satu tulisan dalam buku : “La Tahzan for Teacher” karya Irmayanti dan Gita Lovusa.
Komentar Terbaru