Oleh : Miftakhul Huda
Dewasa ini permasalahan konflik semakin marak dibicarakan. Konflik horizontal baik itu yang terjadi di dalam negeri, maupun di luar negeri Indonesia mengundang rasa iba dalam diri sanubari kita. Konflik yang terjadi di dalam negeri antara lain kasus sampit, pertengkaran Suni-Syiah di Madura, konflik etnis di Balinuraga serta masih banyak konflik yang berujung kekerasan sosial yang lainnya. Semuanya berawal dari permasalahan yang sederhana namun menjadi emosi massa yang membahana (spiral of stupidity). Sementara di luar negeri permasalahan serupa juga terjadi, salah satu yang cukup santer dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini adalah konflik di Negara Myanmar yaitu antara etnis Rohingya dengan etnis Rakhine.
Secara sosiologis dan kultural masyarakat Indonesia memang merupakan masyarakat plural yang memiliki potensi besar bagi munculnya konflik dan perpecahan jika tidak dilandasi oleh multikulturalisme. Konsep ini serupa dengan “Bhinneka Tunggal Ika”. Meskipun masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang pluralistik dari sisi ras, etnis, bahasa, status sosial, kepercayaan, dan sebagainya, namun merupakan suatu kesatuan guna mencapai tujuan bersama dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Paradigma multikulturalisme yang menekankan dialog, toleransi, dan kesediaan untuk koeksistensi dalam keberagaman sesuai dengan salah satu pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam konteks Indonesia, sebagai salah satu representasi keberagaman mayarakat dapat dilihat pada proses dan dampak dari berbagai gejolak sosiokultural dan politik yang terjadi. Adanya konflik sektoral dan horizontal mengancam cita-cita kebhinekaan, dan keberagaman bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, budaya, dan bahasa sudah sejak dulu memiliki sikap saling menghormati. Hal itu telah terbukti dengan kelahiran Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Namun saat ini bangsa Indonesia sedang diuji kedewasaan dan keragamannya dengan maraknya kasus intoleransi dan berbagai kasus SARA. Salah satu perekat nasionalisme adalah kebhinekaan. Sayang semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang diagungkan dan digaungkan sejak dahulu oleh para pendiri bangsa, tampaknya mulai tidak dipahami dan hanya sebatas ucapan.
Namun demikian, mengupayakan persatuan masyarakat plural seperti Indonesia bukan hal mudah. Proses pembentukan dan penguatan nation bulding merupakan agenda penting yang harus dibina dan ditumbuhkan sejak dini. Usaha untuk merajut karakter, kehendak, dan komitmen bersama dari suatu bangsa majemuk mensyaratkan hadirnya negara persatuan seperti yang tercermin dalam bagian akhir pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Negara persatuan Indonesia merupakan ekspresi dan pendorong semangat kegotongroyongan, untuk mewujudkannya maka perlu diperkuat dengan budaya gotong royong dalam kehidupan masyarakat sipil dan politik dengan mengembangkan pendidikan kewarganegaraan dan multikulturalisme yang mampu membangun rasa keadilan dan kebersamaan.
Tinggalkan Komentar