oleh : AMK Affandi
Nama branding tiba-tiba mencuat seiring dengan maraknya media sosial, dibarengi dengan kemajuan Teknologi Informasi (TI), yang semakin sulit untuk di prediksi di masa depan. Branding menjadi kata mujarab untuk menaikkan rating personal maupun institusi. Branding menjadi sebuah kata ajaib yang harus diciptakan dan dirawat, namun kata itu seakan menjadi ilusi. Banyak yang tidak mengetahui bagaimana cara menciptakan dan merawatnya.
Tahun delapan puluhan hingga sembilanpuluhan, ada sekolah menengah yang cukup branded. Sekolah itu menjadi impian hampir sebagian besar anak SMP. Saat itu belum ada istilah branding. Belum juga dikenal karakter. Kata karakter muncul berbarengan dengan diterbitkannya kurikulum tiga belas atau kurtilas. Adapun branding dikenal secara luas setelah banyak orang yang melek istilah media sosial.
Sebenarnya branding itu apa? Sebelum memahami arti branding, perlu mengetahui terlebih dahulu merek atau brand. Merk adalah nama, istilah, desain, simbol atau karakteristik dari sebuah produk. Kalau seseorang menyebutkan sepeda motor, maka pikiran akan fokus pada Honda, meskipun tak selamanya sepeda motor bermerk Honda. Kalau menyebut sebuah sepatu olah raga, maka otak akan mengarah dua merk sepatu Nike dan Adidas.
Dahulu, kalau ada yang mengatakan SMA De Britto, maka yang terlintas adalah sebuah sekolah, siswanya putra semua, tidak pakai seragam, namun otaknya encer. Demikian pula kalau menyebut nama SMA Muhi. Pikiran orang akan tertuju pada sebuah sekolah yang siswanya kental dengan warna Islam, berani, namun otaknya juga encer. Sebab untuk masuk ke sekolah itu diperlukan intelektual di atas rata-rata.
Itulah brand yang sudah terlanjur melekat. Penyematan brand tidak serta merta datang segera. Butuh puluhan tahun untuk diakui oleh masyarakat. Pengakuan ini sesuai dengan warna kehidupan masyarakat saat itu. Tahun 80-an hingga 90-an, komunikasi belum marak seperti sekarang ini. Satu produk komukasi yang dapat dirasakan serentak dalam waktu yang bersamaan adalah radio. Tetapi radio belum menjadi pilihan utama. Maka, media yang efektif saat itu adalah bicara dari mulut ke mulut.
Saat ini, membangun sebuah brand sedikit terbantu dengan kecanggihan TI. Dapatkah memanfaatkan perkembangan TI secara efektif dan efisien? Menegakkan brand sekarang ini, mesti pandai-pandai membuat konten dan tampilan, Di media sosial, rata-rata orang membaca sebuah brand berkisar antara satu sampai dua menit. Itupun kalau tampilannya memikat.
Membuat branding juga tidak sekedar pasang spanduk, membagikan brosur mewartakan informasi. Mengangkat branding itu membentuk perilaku. Sebuah branding dikibarkan secara bersama, oleh pikiran dan tenaga bersama-sama pula. Membranding sekolah sama saja membentuk visi dan misi sekolah yang hendak diangkat.
Ada empat unsur yang harus dimiliki bila akan membranding. Pertama, Misi dan visi adalah fondasi dari sebuah merk. Keduanya dapat diartikan sebagai berikut: Misi merupakan solusi yang ingin diberikan untuk memecahkan masalah, sedangkan visi adalah tujuan jangka panjang yang ingin dicapai. Misalnya, misi sekolah mampu mengantarkan anak didik untuk mencapai prestasi, dan masuk ke jenjang sekolah berikutnya yang baik. Sedangkan visinya, terbentuknya generasi yang qur’ani.
Kedua, Logo adalah wajah dari sebuah merk. Logo ini diperlukan dengan memperhatikan bentuk, warna, tulisan yang dapat membekas dalam pikiran orang. Misalnya logo tentang sekolah Adi Wiyata. Maka logo Adi Wiyata dibuat sesuia dengan keadaan yang sesungguhnya di sekolah. Andai tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, padahal konsumen telah tertarik, maka sekolah dianggap hoax atau bohong.
Ketiga, Jargon. Logo mewakili institusi dalam bentuk visual. Namun itu saja tidak cukup. Perlu adanya tutur kata agar lebih hidup. Jargon, atau bahasa sekarang adalah yel-yel juga mesti mencerminkan keadaan sesungguhnya. Keempat, Web. Kalau dulu masih mengandalkan citra dari mulut ke mulut atau iklan di radio, memasang billboard, maka di era digital harus memanfaatkan web yang selalu ter update. Bermain di media sosialpun dapat dikatagorikan memanfaatkan web. Sekali tenggelam dalam media sosial, maka harus mengikuti karakter media sosial. Tidak boleh ketinggalan iklim kekinian.
Personal maupun Institusi memang tidak akan lepas dari branding. Semua membutuhkan citra, karena telah terlanjur berenang di dunia TI. Branding membutuhkan cuaca. Saat cuaca panas, kita harus menyesuaikan cuaca panas, agar tidak ditinggal konsumen. Dibutuhkan perencanaan yang matang, bila akan membranding.
Tinggalkan Komentar