Sebuah tulisan yang memaparkan tentang gaya belajar ternyata mendapat respon yang cukup positip dari nitizen. Mereka tak lain adalah pendidik, yang memang setiap hari, atau bahkan setiap saat selalu memikirkan tentang pendidikan, agar prestasi anak meningkat. Diskusi menjadi menarik, karena antara teori dengan kenyataan terjadi ketimpangan. Ranah ini menjadi sebuah harapan terutama dalam dunia pendidikan, agar ditemukan formula yang terbaik, menurut kondisi daerah masing-masing.
Sambutan pertama dari Pak Ary, seorang pendidik di SMP Muhammadiyah 3 Depok Sleman. Menurutnya, setiap siswa baru, diberi kesempatan untuk menempati ruang kelas yang sekarakter. Maka, diperlukan placement test (tes penempatan). Tes ini hanya memberi sinyal tentang karakter anak. Saat ini, tes tersebut sering diberi nama assesment diagnostik.
Mengapa tes awal ini diperlukan di lingkungan pendidikan? Karena pertama, untuk mengidentifikasi kebutuhan individu. Setiap anak memiliki kepribadian sendiri. Kedua, memberi informasi dasar tentang pengetahuan, ketrampilan, dan pemahaman siswa. Data tersebut berguna untuk persiapan guru dalam mengajar. Ketiga, Menjebatani antara potensi anak dengan harapan kurikulum.
Menurut Pak Sriyanto, seorang guru di SMA Negeri 1 Wonosori, pemelajaran terdiferensi, yang menjadi salah satu esensi Kurikulum Merdeka (kumer), apakah benar dengan mengelompokkan siswa berdasarkan gaya belajar auditori, visual, dan kinestetik, akan menjadikan pengalaman belajar siswa lebih berarti?
Jawabannya adalah: tidak perlu. Teori gaya belajar ini tergolong pseudo-science alias tidak punya dasar ilmiah. Murid yang mengaku suka belajar secara auditori tetap akan sulit memahami matematika jika materinya disajikan hanya melalui suara, tanpa menggunakan grafik, rumus, dan aktivitas konkret. Murid yang mengaku suka belajar secara verbal tidak akan belajar berenang atau mengoperasikan sebuah mesin hanya dengan diminta membaca deskripsinya.
Kejanggalan lain, justru yang dialami oleh guru sendiri. Konon pembelajaran akan lebih efektif jika disesuaikan dengan gaya belajar murid. Persoalannya, bagaimana mungkin guru mengakomodasi sekian banyak gaya belajar pada saat yang sama? Bagaimana cara menyampaikan setiap materi dalam 4 atau lebih bentuk yang berbeda sesuai gaya belajar murid?
Jadi apa yang seharusnya dilakukan dalam pembelajaran terdiferensiasi? Prinsipnya adalah pembelajaran perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan awal murid. Ini diketahui melalui asesmen awal atau diagnostik. Materi dan kecepatan pembelajaran kemudian dibuat agar memberi level tantangan yang tepat: tidak terlalu mudah (sudah bisa dilakukan sebelumnya), tapi juga tidak terlalu jauh dari kemampuan awal.
Komentar Terbaru