IPM dan Pak Hamdan
Selamat Ulang Tahun Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM),
18 Juli 1961-18 Juli 2022.
Sebuah tulisan lama ringan, semoga bermanfaat.
Jogja, pertengahan 1985. Kami baru saja tamat SMA. Udara cerah dan suasana gembira mencuat dimana-mana. Tentu saja aku terlibat. Baju seragamku diserbu tanda tangan teman sekelas. Kegembiraan berlanjut dengan konvoi motor, sesuatu yang belum terlarang kala itu. Tetapi kegembiraanku hanya berlangsung dalam hitungan jam. Surat dari Upoak datang beberapa hari sebelumnya. Keluarga menyerah, tidak sanggup lagi membiayai studiku. Sedangkan Buw kakak nomor 4 yang membawaku ke Jogja dan direncanakan membiayai kuliahku entah dimana. Maka ketika teman-teman sekelas sibuk merencanakan rekreasi perpisahan kelas ke Bandung, aku diam-diam menghilang dari sekolah. Aku kembali berhadapan dengan realitas. Di Asrama Mas Mansur tempat aku kos, aku menulis surat kepada ketua kelas kami -3 IPA-5, disiingkat PAIMO, SMA Muhi Angkatan 1985. Aku pamit tidak bisa melanjutkan kegembiraan bersama teman-teman sekelas.
Kesulitan ekonomi sebenarnya aku rasakan sejak beberapa tahun sebelumnya. Pada November 1983 Buw meninggalkan Jogja bersama istrinya yang datang dari Kerinci. Dengan tiket KA berharga Rp.8.600,00 mereka berangkat dari Stasiun Tugu menuju Jakarta. Sebelumnya Buw menunaikan kewajibannya sebagai kakak mencarikan tempat kos untukku. Awalnya di Patang Puluhan di sebuah rumah kos di belakang Warung Soto Cabang Pak Marto. Aku sempat tinggal dua minggu. Salah satu teman kosku Irfan Ahadi adik kelasku di Muhi orang Cilacap. Tetapi Buw tidak begitu yakin melepas aku kos disini. Lokasinya jauh dari masjid. Akhirnya aku dititipkan pada teman dekat Buw, Uda Wil orang Bukittinggi yang menikah dengan orang Kauman. Atas bantuan Uda Wil aku bisa kos di rumah Pak Juzan Mursyidi, persis di sebelah barat Pengulon, rumah Penghulu Kraton Jogja yang adalah mertua Uda Wil. Alamat lengkapku adalah Kauman GM IV/124 Jogja.
Satu tahun di Kauman sungguh masa yang menyenangkan. Hari-hari diawali suara toa Masjid Gede yang membangunkan tidurku. “Ngiik……Azzan awwal…. Allaaaaahu Akbar……” Demikian suara khas Mbah Djundi terdengar merdu. Tempat kosku memang hanya sepelemparan batu dari pintu masuk Masjid Gedhe. Maka aku bisa sering shalat jamaah, minimal shubuh, magrib dan Isya di masjid bersejarah ini. Beberapa teman SMA-ku juga tinggal disini. Sebagian anak kos sebagian lagi penduduk asli Kauman. Salah satu teman akrabku adalah Luthfi, anak bapak kosku. Sesekali dia tidur di kamarku. Bapak dan ibu kos juga baik dan hangat padaku. Mereka memanggilku dengan “Mahalli.” Setiap malam minggu aku ikut ronda di kantor RK (Rukun Kampung) Kauman. Salah satu daya tariknya adalah tersedianya makan besar. Dananya dari konversi denda warga yang terjadwal tetapi tidak ronda. Karena agak jauh dari Kauman aku menjangkau Muhi dengan bersepeda.
Semasa tinggal di Kauman kondisi ekonomi keluargaku makin sulit untuk membiayai studiku. Wesel datang tidak rutin. Akupun mulai bekerja mencari tambahan penghasilan. Aku menjadi guru privat mengaji pada keluarga Pak Suparjiman di Muja-muju. Ada lima muridku. Atik, Erry, Didik, Nina, dan Ita. Aku juga mengajari mereka matematika. Saat itu aku kelas dua SMA dan murid terbesarku Atik si sulung, kelas tiga SMP. Aku juga menjual stiker SMA Muhi. Stiker diproduksi atas bantuan Pak Hussein Dahlan guruku orang Palembang. Beliau mencetak ribuan stiker dan aku menjualnya ke teman-teman sekolahku. Sedangkan pekerjaan rutin adalah mendistribusikan rambak (kerupuak jangek) yang diproduksi keluarga Uda Wil. Dengan ransel besar penuh aku berkeliling Jogja menitipkan kerupuk ini di warung-warung makan. Aku bersepeda balap, pemberian paling berharga Buw untukku ketika beliau mendapatkan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dari BNI.
Memasuki tahun berikutnya situasiku makin menantang. Kiriman ortu dan uang hasil bekerja tidak cukup untuk memperpanjang kos. Untungnya pada hari-hari terakhir datang surat Buw disertai surat khusus untuk sahabat akrabnya, Pak Suroso. Aku diminta Buw menumpang di rumah Pak Suroso. Maka dengan naik becak dari Kauman aku hijrah kembali ke Pengok. Tetapi kali ini di Blok A, tidak di blok G sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Maka setidaknya aku bisa mengehamat uang kos. Pak Surosao sangat baik padaku. Sesekali aku diajak makan bersama. Akupun membalasnya dengan membersihkan halaman yang cukup luas dari rumah pejabat PJKA ini. Karena blok A dengan blok G berbatasan langsung maka aku kembali bersama teman-teman masa SMP-ku di blok G. Aku juga kembali menjadi jamaah masjid Nurul Huda di blok G. Kebaikan Pak Suroso menampungku pada masa-masa sulit ini semoga menjadi tabungan pahala di sisi Allaah SWT. Aamiin.
Setelah memiliki cukup dana aku kembali pindah kos. Dari Pengok ke asrama Ikatan Pelajar Mahasiswa Kerinci (IPMK) di Ledok Tukangan. Asrama ini persis berada di samping bawah jembatan Kali Code yang menghubungkan Kotabaru dengan Malioboro dan sekitarnya. Di asrama ini kami beberapa orang Kerinci tinggal bersama. Sebagian besar mereka adalah mahasiswa. Ada Wo Urpan Dani, wo Irfan, Wo Syafri Januk, dan Musdi saudaraku yang masih SMA dan bersama aku dulu berangkat ke Jogja pada 1979. Asrama ini menjadi pusat kegiatan IPMK. Berbagai musyawarah dan pertemuan diselenggarakan disini. Termasuk juga pelantikan pengurus. Pada dua periode kepengurusan aku menjadi pengurus IPMK seksi pelajar. Situasi di sekitar asrama selalu ramai. Bahkan suasana kehidupan malam Malioboro pun sayup terdengar dari kamarku.
Alhamdu lillaah aku berhasil bertahan. Tetapi sesungguhnya aku babak belur. Ibarat anak ayam aku kehilangan induk. Bayangkan, dalam setahun pindah kos tiga kali. Maka prestasi akademikku terlunta-lunta. Tetapi aku bersyukur dalam periode yang berat ini masih berada di jalan lurus. Ini berkat pilihanku menjadi aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). IPM menjadi katarsis sekaligus penguat bagiku menjalani masa-masa sulit ini. Tentu ada banyak godaan. Pada suatu tengah malam aku tergetar. Suara kendaraan di atas jembatan Kretek Kewek hanya terdengar sesekali. Teman-teman satu asrama IPMK sudah terlelap. Tiba-tiba beberapa ketukan lembut terdengar dari pintu kamar yang menghadap bagian samping asrama. Suara lembut seorang wanita terdengar jelas beberapa kali, “Mas…. Mas…. buka pintunya Mas….” Astaghfirullah, aku segera masuk ke bagian dalam asrama. Besoknya aku segera memikirkan mencari tempat kos yang baru.
Pada bagian terakhir dari masa sulit kelas tiga SMA ini, aku akhirnya terdampar di Asrama Mas Mansur. Asrama ini didirikan oleh Pimpinan Pusat IPM dalam rangka membina para pelajar. Sebagai pilot proyek para penghuninya adalah siswa SMA Muhi. Ada beberapa keuntungan tinggal disini. Pertama, ada kelonggaran pembayaran. Kedua, aku kembali bisa berdekatan dengan masjid. Tembok belakang asrama menyatu dengan tembok Masjid Nurahawwin. Ketiga, disini aku bisa berinteraksi langsung dengan para senior yang merupakan fungsionaris Pimpinan Pusat IPM. Sebagian dari mereka menjadi Pembina asrama. Ada bang Syahrial mahasiswa Teknik Pertambangan STTNAS. Ada bang Ismail mahasiswa Filsafat UGM yang mejadi sekjen PP IPM. Lalu ada Bang Haedar, ketua PP IPM yang kini menjadi Ketum PP Muhammadiyah. Maka walaupun hanya pengurus di tingkat Daerah, aku dekat dengan Pimpinan Pusat. Hubungan kami lebih seperti abang dan adik.
Jogja, Agustus 1985. Aku sudah tamat SMA dan ada dua kebahagiaanku hari-hari ini. Pertama, aku akhirnya bergabung dengan acara perpisahan kelas di Bandung. Setelah membaca suratku teman-teman sekelas berempati dan meminta aku berangkat tanpa bayar. Kedua, Pada suatu sore, aku diboncengkan Pak Hamdan, salah satu ketua PP IPM dan guru Muallimin Muhammadiyah Jogja. Dengan si Pitung Merah kami pulang dari sebuah acara IPM. Sepanjang perjalanan aku bercerita pada beliau. Bahwa aku sudah tamat SMA Muhi. Bahwa aku diminta surut sementara ke kampung halaman. Bahwa aku bertekad bertahan di Jogja di luar tanggungan keluarga. Aku memelihara cita-cita untuk bisa kuliah di tahun-tahun berikutnya. “Kamu bisa ngetik?” potong Pak Hamdan. “Bisa Pak. Kebetulan SMP-ku dulu bekas SMEP. Kami diajari mengetik sepuluh jari” jawabku jelas. “Kalau begitu Kamu mulai besok masuk kerja di Muallimin ya….” Kalimat terakhir Pak Hamdan ini langsung membuat dunia sore itu terasa kembali cerah. Sebuah era baru hidupku segera bisa dimulai. Alhamdulillaah, Allaahu Akbar.
Tamantrito Jogja, 30 Juli 2021
Mahli Zainuddin Tago.
Komentar Terbaru