Hari ketujuhbelas ramadhan 1442 H
Seorang sahabat saya bertutur, ia memiliki seorang kawan yang murah senyum. “Kalau dia senyum seperti Andi Malarangeng, hanya nasibnya saja yang beda,” katanya sambil mengulum senyum.
Si pemurah senyum itu bernama Bahran (39). Suatu ketika ibu Bahran sakit keras. Selama dua pekan di rumah sakit, para dokter belum mampu menemukan penyakit yang diderita sang bunda. Sementara tagihan biaya terus membengkak. Enam saudara Bahran lainnya yang lebih beruntung secara ekonomi saling bahu membahu membiayai ibunya. Hanya Bahran yang belum ikut menyumbang karena kondisinya yang belum mampu.
Di tengah kebingungan itu ia pergi ke sebuah masjid untuk sholat dhuha dua rakaat. Dia pun bermunajat, “Duhai Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, aku bermohon kepadamu jangan kau cabut nyawa ibuku sebelum aku mampu memberikan sesuatu yang berarti bagi ibuku. Aku mengerti kasih sayang ibuku tak mungkin terbalas, tapi aku ingin berbuat sesuatu yang mampu membahagiakan ibuku. Beri aku petunjuk dan pertolongan agar aku mampu membahagiakan ibuku walau sesaat. Duhai yang Maha Pengasih izinkanlah aku… izinkanlah aku…”
Bahran terisak, butiran bening membasahi pipinya. Usai berdoa dia tebarkan senyum khasnya kepada setiap pengunjung masjid yang ditemuinya. Tak tampak kesedihan di wajah. Bahran membentangkan selembar tikar di depan masjid itu. Ia tawarkan jasa pijat refleksi kepada para pengunjung masjid. Ketika para pengguna jasa itu selesai dipijat dan hendak mengeluarkan dompet, buru-buru Bahran memegang tangan orang itu sambil tersenyum kemudian berkata, “Maaf pak saya tidak meminta ini, saya hanya minta Bapak mendoakan agar ibu saya segera sembuh dari sakitnya. Hanya dengan cara ini saya bisa berbakti kepada ibu saya.”
Ajaibnya, entah karena ketulusan Bahran, doa dari orang itu, atau sebab lain, tiga hari kemudian ibunya dinyatakan sehat dan boleh pulang ke rumah tanpa diketahui apa penyakitnya. Bahran sangat bersyukur. Yang semakin menambah rasa syukur Bahran, semua biaya yang belum terbayar di rumah sakit ditanggung oleh salah seorang jamaah masjid yang terkesan dengan senyum dan cara Bahran berbakti kepada ibunya.
Inilah tipe orang yang langka. Tatkala sebagian orang berpikir membantu orang muesti dalam bentuk dana atau bentuk material lainnya, Bahran membantu ibunya lewat kekuatan senyum dan doa. Senyum terbukti memiliki daya magis. Cobalah tersenyum dengan anak, istri, kerabat, rekan kerja dan siapapun yang anda temui. Maka kekakuan, ketidaknyamanan, kebencian, kemarahan akan berubah menjadi rasa hormat, cinta, kasih sayang dan cairnya suasana.
Para nabi pun menganjurkan agar kita banyak menebar senyum. Tapi senyum yang dianjurkan bukan senyum Monalisa yang menyimpan sejuta misteri. Bukan pula senyum ngeres, senyum yang menggoda dan merendahkan layaknya adegan di layar kaca. Senyum yang dianjurkan adalah senyum 227.
Ketika kita senyum lakukan dengan cara menarik mulut ke samping kanan 2 cm ke atas, mulut kiri 2 cm ke atas, dan lakukan selama 7 detik. Senyum seperti ini adalah senyum tulus, bukan senyum basa basi. Bukan pula senyum yang sekadar memenuhi Standard Operational Procedure (SOP) service excellent belaka. Sungging senyum 227, maka perasaan anda yang gundah,gelisah, sedih, takut, minder, dan perasaan negatif lainnya akan berlalu. Saatnya senyum menjadi aktivitas refleks. Simaklah lirik lagu yang pernah dipopulerkan group band Bad English berikut ini. “When I see you smile, I can face the world, –oh –oh, You know I can do anything…”
Senyumlah dengan senyum 227 sekarang juga, maka anda dapat merasakan dunia yang lebih energik dan penuh gairah…
Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.
Komentar Terbaru