Gerakan literasi tidak harus menunggu perintah dari atas. Gerakan literasi adalah dorongan seseorang berkeinginan untuk mengetahui informasi. Dorongan ini timbul karena pembiasaan. Orang yang membaca karena didorong oleh orang lain, memiliki kontribusi paling kecil.
Literasi tak hanya membaca. Literasi dapat juga berupa hitungan, ketrampilan, bahkan lietrasi digital sudah masuk sebagai aktivitas gerakan literasi. Di SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta, literasi harus didorong lebih keras lagi, agar semangat untuk berliterasi berkobar.
Belum lama ini, SMP Muhammadiyah 4 Yogyakarta menerima 3 (tiga) eksemplar berupa buku dan buletin yang bernuansa bahasa jawa. Ketiganya adalah : buletin Jawacana, buku novel Jawa Goreh dan buku Museum di Yogyakarta.
Jawacana adalah buletin berbahasa dan beraksara jawa. Jumlah halamnnya ada 16, dicetak full color. Semuanya beraksara jawa, sehingga untuk dapat mengerti isi bulletin ini, harus trampil membaca huruf jawa. Jurnal diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis, terus terang tidak tahu isinya. Hampir 40 tahun tak pernah bersentuhan dengan bahasa jawa.
Buku kedua, adalah buku Novel Jawa yang berjudul “Goreh”. Dalam translate di google artinya “Buruk”, benar tidaknya saya juga tidak tahu. Buku ini karangan dari Suradian Wirodono. Terbitan Dinas Kebudyaan Propinsi DIY. Jumlah halaman 182. Buku ini sebagai salah satu khasanah budaya Jawa, yang ditanah Jawa khususnya Yogyakarta, nyaris lumpuh. Kalah dengan desakan modernisasi yang berbahasa asing.
Buku ketiga adalah “Museum di Yogyakarta” dengan anak kalimat “Jendela Memaknai Peradaban Zaman”. Buku yang dicetak oleh Dinas Kebudyaan Prop. DIY, dicetak full color. Sangat bagus untuk dokumentasi sekaligus untuk belajar. Jumlah halaman 106, yang menceriterakan tentang museum yang ada di Yogyakarta.
Ketiga eksemplar yang telah dikirim ke sekolah atau lembaga pendidikan lainnya diharapkan untuk dibaca. Sebagai wawasan sejarah (masa lalu) dan juga untuk menatap masa depan. Museum itu bukan benda kuno, bukan benda sejarah. Museum itu media pembelajaran, agar yang membaca mampu mengambil hikmah dibalik benda-benda yang dikumpulkan dalam museum.
Komentar Terbaru