sumber gambar : https://www.superprof.co.id/blog/ekspektasi-kursus-akting/
Cerpen oleh : Irwan Kelana
”Mel, kamu mau kan main dalam sinetron terbaru saya yang bertemakan Ramadhan?”
Suara di seberang sana itu milik Pak Haryo, produser sinetron. Aku beberapa kali main sinetron yang diproduksinya. Bahkan aku jadi pemeran utama sinetron drama keluarga berjudul Nyanyian Ombak yang saat ini masih tayang di salah satu televisi swasta.
”Judulnya apa, Pak?” tanyaku sambil terus menyetir Honda Jazz warna silver menuju Plaza Senayan, Jakarta Selatan.
”Titik Balik. Kisahnya tentang seorang perempuan yang melakukan segala macam cara untuk mencari kebahagiaan, namun dia tak pernah menggapainya. Hingga suatu saat, dia mengalami titik balik dalam hidupnya dan meraih kebahagiaan yang selama ini selalu diimpikannya.”
Pak Suryo adalah satu dari segelintir produser sinetron yang idealis. Ketika banyak produser lain hanya menawarkan mimpi dan sinetron-sinetron yang sangat permissive, ia tetap setia membuat sinetron-sinetron berkualitas yang sarat dengan pesan-pesan moral dan pencerahan.
”Boleh juga, Pak.”
”Kalau begitu, datang ke kantor Senin lusa, untuk audisi. Saya sangat berharap kamu bisa terpilih. Kamu paling cocok untuk peran itu, Mel.”
”Alasan Bapak?”
”Kamu cantik tapi lembut. Pribadimu mencerminkan perpaduan seorang wanita yang anggun dan berwibawa. Ketika banyak artis suka tampil berani bahkan demonstratif, kamu lebih suka berpenampilan sopan dan bersahaja. Namun, semua itu tak mampu mengurangi pesona kecantikanmu.”
”Terima kasih pujiannya, Pak.”
”Janji, kamu datang audisi ya?”
”Oke, Pak.”
Aku meletakkan kembali Nokia N73 Series itu di jok kiri. Pikiranku sebentar-sebentar teringat sinetron tersebut. Titik Balik? Judulnya cukup menjanjikan. Kisahnya pun cukup menarik.
Terus terang, aku belum pernah main sinetron Ramadhan. Selama ini sinetron-sinetron yang aku perankan kebanyakan merupakan drama keluarga. Ada juga beberapa sinetron komedi.
Aku tidak suka ngoyo untuk main di sebanyak mungkin sinetron. Kualitas acting lebih utama bagiku. Karena itu, aku tak suka terikat pada satu rumah produksi tertentu. Aku lebih senang jadi orang bebas. Toh, kalau memang rezeki, tak akan ke mana.
Seperti kali ini. Dari lima puluh orang yang ikut audisi, ternyata aku yang terpilih sebagai pemeran wanitanya. Sedangkan pemeran pria jatuh pada Kukuh. Dia menyisihkan enam puluh pesaingnya.
Diam-diam aku senang juga dia yang terpilih jadi calon lawan mainku. Aktor ganteng asal Surabaya itu terkenal santun dan rendah hati, tapi kemampuan aktingnya sangat diperhitungkan. Dia beberapa kali menjadi pemeran utama. Dia pun pernah beberapa kali memerankan sinetron Ramadhan.Latar belakang keluarganya yang berasal dari pesantren di Jawa Timur sangat mendukung baginya untuk memerankan tema-tema keislaman.
”Selamat ya, Mel,” ujarnya tulus.
”Sama-sama, Kuh. Selamat juga buat kamu.”
Sinetron itu selesai dikerjakan sebulan sebelum Ramadhan tiba, dan menurut rencana mulai tayang di sebuah stasiun teve swasta, sembilan hari sebelum Ramadhan, sehingga berakhir pas malam Idul Fitri.
Pada acara syukuran selesainya pembuatan sinetron itu, Pak Suryo mengundang seorang kiai. ”Ramadhan adalah bulan pencucian. Bulan taubat. Namun hendaknya, taubatnya jangan pas bulan puasa saja. Ada artis yang selama bulan puasa pakaiannya sopan, tapi setelah lebaran, udelnya kembali kelihatan. Penampilannya jadi berani lagi. Nah, itu namanya taubatnya belum taubat nasuha atau taubat dalam arti sebenar-benarnya, tapi taubat sambel. Pada waktu kepedasan, ia meringis-ringis sambil bilang ‘tobat, tobat!’ Tapi besok makan sambal lagi.
Mudah-mudahan, setelah Ramadhan berlalu, Anda tetap berada dalam suasana Ramadhan. Pakaian Anda pun tetap seperti di sinetron Ramadhan ini,” sambil berkata begitu, Pak Kiai menatapku.
Di akhir ceramahnya, Pak Kiai menganjurkan, baik sekali kalau umrah menjelang Ramadhan maupun selama Ramadhan. ”Ini merupakan kesempatan istimewa untuk mensucikan diri. Sekaligus sebagai tanda syukur atas rezeki yang Allah berikan.”
Sepulang acara syukuran, mendadak HP-ku ditelepon oleh seorang wartawan infotainment. ”Mbak Mel, betulkah Mas Baskoro selingkuh dengan artis pendatang baru bernama Claudia? Kabarnya Claudia hamil, dan Mas Baskoro harus menikahinya?”
”Apa????!”
”Mas Baskoro, Mbak.”
”Saya… saya… tidak tahu apa-apa,” sahutku terkejut dan gugup. Mendadak perutku terasa mual dan mules. Baskoro selingkuh dengan Claudia, lawan mainnya di sinetron Cinta Terbagi? Sejak awal, Melati kurang simpati terhadap artis belia yang selalu tampil berani dan demonstrative itu. Bahkan, sempat dia dengar kalau Claudia itu rela melakukan berbagai cara untuk mendapatkan peran di sinetron.
Ia pun sempat khawatir, waktu Baskoro main sinetron bareng Claudia. Jangan-jangan ia akan berusaha merebut perhatian Baskoro dengan segala daya tarik fisiknya yang memang montok itu. Apalagi serial sinetron Cinta Terbagi meledak, dan diperpanjang menjadi 52 episode. Mereka pasti akan makin sering bertemu, dan makin intens.
Tetapi, bukankah waktu lima tahun pacaran cukup lama? Baskoro pasti bisa bertahan, dan akan tetap setia. Melati berusaha membesarkan hatinya. Namun, telepon dari wartawan infotaiment itu membuyarkan segala keyakinannya. Apalagi tak lama kemudian wartawan-wartawan infotaiment lainnya pun mengontak HP-nya.
Hampir saja Melati aku seorang pejalan kaki, karena tak bisa konsentrasi lagi saat menyetir. Di luar sana, langit tampak gelap. Tak ada bintang, tak ada bulan. Mendung bergantung sejak Maghrib tadi, meskipun Jakarta sudah berbulang-bulan tak disiram hujan.
Sesampainya di rumah, yang pertama kali aku lakukan adalah menelepon Baskoro. Ia tak berbelit-belit. ”Maafkan aku, Mel. Aku khilaf. Claudia berkali-kali merayuku dengan berbagai cara. Kini ia mengandung benihku di rahimnya. Maafkan aku, Mel,” suaranya lemah dan tak bersemangat. ”Jadi… jadi… kau…?” Air mataku berderaian, dadaku rasa pepat, ruangan yang terang benderang terasa begitu gelap gulita dan seperti mati. ”Ya… aku harus menikahinya, Mel. Kalau tidak, ayah Claudia yang seorang jendral itu mengancam akan membunuhku. Semoga kamu mendapatkan pengganti yang lebih baik dariku, Mel.”
Semuanya sudah jelas sekarang, seperti jelasnya malam dan siang. Kisah cinta kami sudah selesai. Impianku untuk merenda rumah tangga bersama Baskoro punah sudah. Tak akan ada Ny Melati Baskoro.Dan tak akan pernah ada celoteh anak-anak yang lahir dari buah cinta kami.
Selama berhari-hari, seluruh tayangan infotaiment dipenuhi oleh berita tersebut. Para wartawan infotainment pun berkali-kali memburuku untuk minta konfirmasi maupun komentar. Aku berusaha tegar. ”Jodoh, rezeki dan maut, semua sudah ditentukan oleh Tuhan, saat kita masih dalam kandungan ibu kita. Kita hanya menjalani takdir yang sudah Tuhan persiapkan buat kita. Saya hanya berdoa, semoga Mas Baskoro dan Claudia hidup bahagia,” kataku setiap kali diwawancarai wartawan.
”Apa Mbak enggak kecewa? Marah? Sakit hati?” wartawan masih juga berusaha mengejarku. ”Kalau saya seperti itu, berarti saya tidak ikhlas. Sudah ya,” aku berusaha menutup wawancara. Mereka masih berusaha untuk meminta komentarku lebih jauh, namun aku berusaha menghindar.
Betapa remuk redam hatiku sulit kulukiskan dengan kata-kata. Aku pun berusaha menarik diri dari pergaulan. Aku mengganti nomor HP-ku, namun para wartawan itu akhirnya tahu juga. Beberapa kali aku ganti nomor, namun mereka selalu punya cara untuk memperoleh info.
Malam pertama Ramadhan, aku menikmati makan sahur tanpa semangat. Waktu menunjukkan pukul setengah empat dini hari, ketika HP ku berdering. Dengan ragu-ragu, aku mengangkatnya. Ternyata dari Kukuh. Dia mengatakan akan umrah bersama ibu dan ayahnya pekan depan. ”Mau umrah bareng, Mel? Mudah-mudahan Allah akan menenangkan hatimu yang gundah.” Aku memutuskan untuk menerima ajakan Kukuh. Aku pun pergi bersama papa dan mamaku.
Saat pertama memandang Masjidil Haram dan Ka’bah dari jendela hotelku, batinku langsung tercekat. Betapa keagungan Allah SWT, dan betapa kecil dan hina diriku yang tiada arti ini. Rasanya aku tak sabar untuk segera bersujud di depan Kabah.
Ketika kakiku menjejakkan lantai masjid itu, tempat yang tiap hari menjadi arah shalat miliaran umat Islam sedunia, aku tak mampu menahan haru. Dan tangisku pecah saat aku shalat sunnat dua rakaat.
Kukuh membimbingku untuk berdoa di dekat Multazam. ”Ini tempat yang paling mustajab, Mel. Apa pun doa yang kita minta akan dikabulkan oleh Allah SWT,” bisiknya perlahan.
”Kamu, apa doa yang kamu minta?” tanyaku.
”Aku minta segera dapat jodoh wanita yang salehah. Aku mau langsung menikah. Aku tak pernah percaya yang namanya pacaran.”
Tiba-tiba hatiku tergetar.
”Kalau begitu aku akan meminta dua hal, tapi aku tak akan mengatakannya padamu.”
”Oke, berdoalah.”
Aku minta doa agar jangan Engkau cabut lagi nikmat iman yang Engkau berikan padaku ini. Aku mohon kekuatan lahir dan batin untuk menjalankan agama-Mu dengan sebaik-baiknya. Aku mohon pertolongan-Mu untuk mengenakan busana Muslimah sebagaimana yang telah Engkau dan Rasul-Mu ajarkan. Kedua, aku mohon doa jodoh yang baik, yang dapat membimbingku menuju jalan yang Engkau redhai.
Tiba-tiba aku merasakan seperti ada cahaya terang melintas di depan mataku. Mungkin, tepatnya, di dalam hatiku. Batinku tiba-tiba terasa jernih, bersih, dan lapang. Tak ada lagi kesedihan dan kegalauan. Tak ada lagi keraguan untuk menjalankan agama semampu yang aku bisa. Dan aku siap kalaupun tiba-tiba ada yang melamarku dan mengajak menikah.
Tanpa aku sadari Kukuh dan kedua orang tuanya, juga kedua orang tuaku duduk bersimpuh mengelilingi di belakangku. Saat aku menoleh, mereka semua tersenyum kepadaku. Betapa damai dan indahnya.
Seperti judul sinetron itu, aku benar-benar mengalami titik balik dalam hidupku. Sepulang umrah, orang tua Kukuh melamarku. Kami akan menikah seusai Ramadhan.
Disadur dari harian Republika.
Komentar Terbaru