Info Sekolah
Kamis, 30 Nov 2023
  • Selamat Hari Pendidikan Nasional
  • Selamat Hari Pendidikan Nasional
16 Juli 2020

Ada Nabi di Masjid Kampung Kami

Kamis, 16 Juli 2020 Kategori : Uncategorized

Karya: Muhammad A. Wibisono

 

Haji Karim berjalan penuh semangat menuju masjid. Dia selalu bersemangat ketika mendapat jatah menjadi khatib salat Jumat. Andai setiap hari Jumat mendapat jatah menjadi khatib, pasti dia akan siap sedia karena mempunyai dua rak sepanjang enam meter di ruang tamu yang hanya berisi buku referensi materi khotbah Jumat. Namun, sayang, dia hanya mendapatkan khotbah ketika Jumat Wage.

Anak-anak berlarian di teras masjid. Ada yang mengobrol, ada yang bermain pukul-pukulan menggunakan peci dan sarung. Bahkan, ada pula yang bermain batu kertas gunting, kemudian yang kalah akan dicopot sarungnya dengan paksa oleh teman-teman.

“Awas, Pak Haji Karim datang!” ujar Antok kepada teman-teman.

Seketika Antok dan teman-teman terdiam di posisinya masing-masing. Haji Karim terkenal sangat tegas dan cerewet jika melihat anak-anak ramai di masjid. Tidak jarang dia sering menegur, membentak, dan pernah ketika khotbah Jumat dia berteriak mengusir anak-anak yang ribut di teras masjid.

“Jangan ribut kalau di masjid. Apalagi ketika salat lari-lari di depan jemaah. Kalau ribut mending di rumah saja, jangan di masjid!” ujar Haji Karim menegur.

Anak-anak takut bila sudah melihat Haji Karim menegur. Namun, tak lama lagi pasti lupa dengan teguran Haji Karim sehingga berbuat gaduh lagi. Hingga pada akhirnya Haji Karim sampai mengusir anak-anak dan tidak memperbolehkan ke masjid lagi.

Beberapa warga pernah ada yang memberi saran kepada Haji Karim mengenai anak-anak yang bermain di masjid. Namun Haji Karim malah tersinggung dan memarahi warga yang berani menegur. Dia akan mendebat dengan alasan dia adalah penyumbang terbesar dalam pembangunan masjid. Pada ujungnya pasti akan menyebutkan nominal sumbangan yang mencapai ratusan juta rupiah.

Antok sering mengeluh ketika Haji Karim memarahi teman-temannya. Dalam hati, dia menyayangkan sikap Haji Karim yang kurang baik. Guru di sekolah pernah bilang bahwa dunia anak adalah dunia bermain yang tidak mengenal tempat. Anak-anak boleh bermain di mana pun asal tidak tempat berbahaya, tak terkecuali masjid. Bapak ibu guru memperbolehkan anak-anak bermain di masjid. Betapa keras orang tua melarang, anak-anak seusianya pasti akan selalu mengulang. Usia anak-anak adalah masa pembelajaran yang seharusnya menyenangkan. Bahkan, jika memang itu tempat ibadah, harusnya anak-anak dibuat betah dan nyaman di rumah Allah. Bukan malah menjadikan masjid menjadi tempat angker karena ada orang tua melarang atau membentak anak-anak.

Haji Karim memulai khotbahnya. “Hadirin jamaah jumah rohimakumulloh. Pada khotbah Jumat kali ini adalah bahasan “Keutamaan Bersedekah”. Sebagaimana dalam peribahasa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah dan perlu diketahui, tidak ada dalil Alquran yang menyatakan sedekah akan membuat kita menjadi miskin. Namun sebaliknya, sedekah menjadikan kita serba berkecukupan. Kita tengok saja beberapa orang yang banyak sedekah di lingkungan, misal menyumbang pembangunan masjid. Dia pasti diberi kecukupan oleh Allah.”

Haji Karim merupakan orang yang ditokohkan di desa. Dia belum haji. Akan tetapi, dia satu-satunya orang yang sudah umrah di desanya. Namun, dia berharap warga desa memanggil dia dengan sebutan “haji” dengan alasan orang yang pernah ke Makkah pantas disebut “haji”. Oleh karena itu, di setiap surat undangan atau acara-acara penting seperti pengajian atau rapat desa, dia selalu meminta ditambahkan huruf “H” di depan namanya dan penyebutan langsung dalam pidato menggunakan sebutan “haji”.

Konon banyak warga bilang, dulu gelar hajinya itu untuk modal nyalon menjadi kepala desa. Gelar haji merupakan gelar yang sangat prestisius dan dipercaya bisa meraup suara banyak. Ditambah lagi Haji Karim terkenal dengan memberi sumbangan ke masjid atau musala di beberapa kampung, misal berpuluh-puluh sak semen dan belasan truk pasir untuk menyokong pembangunan tempat ibadah supaya lebih layak untuk beribadah. Setelah itu, pasti Haji Karim meminta untuk menuliskan daftar penyumbang di urutan pertama supaya bisa diketahui banyak orang.

Karena semua warga sudah mengetahui wataknya, Haji Kalim tidak terpilih menjadi kepala desa. Ada warga yang mengatakan itu karena niat buruk makanya tidak terpilih. Sampai-sampai mendapat julukan haji pansos alias haji panjat sosial. Memang bukan antisosial, tetapi karena memiliki sifat sombong dan selalu ingin diketahui kebaikannya sehingga mendapat julukan tersebut.

Rapat antara para orang tua dan pemuda desa memutuskan bahwa pengajian Maulid Nabi akan mengundang penceramah kondang tingkat nasional yang sering ceramah di televisi. Haji Karim yang mengusulkan nama penceramah tersebut dengan alasan sesekali mengundang penceramah tingkat nasional karena bosan jika hanya mengundang penceramah lokal terus menerus.

“Bapak-bapak dan para pemuda tidak usah khawatir mengenai amplop untuk bayaran penceramah. Nanti saya saja yang bayar semuanya. Saya masih mampu, tenang saja,” ujar Haji Karim sambil tersenyum simpul.

Bapak-bapak dan para pemuda pun bisa mengartikan senyuman itu. Acara yang dinanti tiba juga. Semua warga mendatangi masjid setelah isya. Keramaian berpindah ke masjid dengan dominasi warna putih dari ibu-ibu kelompok pengajian yang berbeda-beda. Anak-anak juga tidak mau ketinggalan. Mereka datang sedari azan Magrib. Sembari menunggu pengajian, mereka bermain-main. Ada yang kejar-kejaran. Ada pula yang main tebak-tebakan yang menambah riuhnya acara pengajian.

Mendadak terdengar keramaian dari luar. Rupanya, para pemuda mengawal kedatangan sang penceramah. Sang penceramah tersebut bernama Kiai Abdul Komad. Lulusan pondok pesantren di Jawa Timur. Bahkan, kabarnya beliau kuliah di Mesir sampai S-3. Sekarang, mendirikan pondok pesantren yang santrinya berjumlah ribuan dari dalam hingga luar negeri. Kiai Abdul Komad menyampaikan intisari pentingnya peringatan Maulid Nabi.

“Hal yang perlu kita teladani dari Rasulullah SAW. adalah kesabarannya. Beliau sabar dalam menghadapi segala rintangan berdakwah dan memberikan suri teladan yang baik kepada umatnya. Terapkan hati yang selalu rindu kepada nabi supaya kita selalu bisa meneladan kebiasaan beliau. Kalau tidak mau rindu, tidak apa-apa, tidak usah meneladan beliau. Akan tetapi, jangan harap mendapatkan syafaat dari beliau di Yaumul Qiyamah nanti.” Kiai terkekeh-kekeh.

Penyampaian Kiai Abdul Komad enak didengar. Ceramahnya sarat perumpamaan yang memudahkan pendengar memahami isi. Selain itu, guyonnya juga banyak, jemaah tidak bosan atau mengantuk walapun sudah larut malam. Tiba-tiba dari sudut belakang masjid muncul lambaian tangan seolah-olah ingin diperhatikan Kiai Abdul Komad.

“Iya, Nak. Ada apa?” sahut Pak Kiai kebingungan.

“Anu, Pak Kiai. Perkenankan nama saya Antok. Mau bertanya, boleh tidak, Pak Kiai?”

“Oalah, kukira ana apa, Le. Boleh, mau tanya apa?”

Nyuwun pangapunten, Pak Kiai. Saya mau bertanya. Saya di sekolah diajarkan guru saya kalau anak-anak bermain di masjid itu diperbolehkan. Tetapi kalau di sini saya dan teman-teman dilarang, Pak Kiai, dan diusir malahan. Yang benar yang mana, Pak Kiai?”

Sontak, pertanyaan Antok membuat Haji Karim terkejut. Ia merasa pertanyaan tersebut dimaksudkan kepadanya. Para jemaah juga tertegun dengan pertanyaan kritis dari sosok anak SD tersebut. Yang sibuk mengobrol, mengunyah makanan, akhirnya menghentikan aktivitas. Perhatian tertuju ke Antok.

“Kanjeng Nabi itu sosok teladan bagi segala masalah yang ada di dunia ini. Tak terkecuali dalam ngemong anak. Saking sayangnya, beliau sering mengajak cucunya, Hasan dan Husein, salat. Hasan dan Husein itu juga suka bermain layaknya anak-anak zaman sekarang walaupun dia cucu Rasulullah SAW.

“Saat Nabi salat, keduanya sering mengganggu. Misalnya, lari-lari di depan Kanjeng Nabi, naik di punggung beliau dan bahkan sampai bermain kuda-kudaan. Hebatnya, Kanjeng Nabi tidak merasa terganggu oleh ulah mereka.

“Nabi saja ketika salat, beliau rela diganggu cucu-cucunya. Bukan hanya ribut atau kejar-kejaran, melainkan juga nemplok ten punggunge Rasulullah. Bahkan, Kanjeng Nabi itu malah memperlama sujud ketika Hasan dan Husein main kuda-kudaan.

“Kurang khusyuk apa coba salatnya Nabi, sampai-sampai beliau rela diganggu cucu-cucunya,” jelas Kiai Abdul Komad.

Jemaah terdiam. Kagum dengan sosok nabi dari cerita Kiai Abdul Komad.

“Tambahan lagi Bapak Ibu, Nabi itu juga mempercepat bacaan salat ketika mendengar suara bayi menangis. Apakah tidak khusyuk karena hal itu? Nah, lantas siapa lagi yang patut diteladan dalam ngemong anak kalau bukan Nabi?

“Bayangkan saja kita melihat Nabi salat di masjid ini dengan diganggu kedua cucunya. Lucu, kan, Bapak Ibu? Pasti gemes adem gimana gitu lihatnya.” Kiai terkekeh-kekeh kemudian diikuti tawa jemaah.

Panjang lebar Kiai Abdul Komad memberikan penjelasan atas pertanyaan Antok. Sementara, di samping masjid, Haji Karim mengerut. Rona wajahnya malu dan tersinggung.

“Jadi kalau anak-anak kita ribut di masjid, jangan dibentak atau malah diusir. Biarkan mereka senang dengan masjid sehingga sampai dewasa tetap cinta masjid. Daripada mereka main di luar, seperti nongkrong enggak jelas, main kartu. Mending mereka main di masjid.

“Wajar jika zaman sekarang banyak masjid megah-megah, tetapi sepi. Isinya hanya orang-orang tua. Bisa jadi salah satu penyebabnya karena yang muda ketika kecil sering dilarang-larang dan dibentak. Makanya ketika sudah dewasa menjadi malas ke masjid.

“Maka dari itu, Bapak Ibu, sudah sepantasnya buat anak-anak kita menjadi rindu suasana masjid dan juga rindu Kanjeng Nabi. Teladan beliau itu menjadi pedoman kita dalam hidup di dunia. Tidak akan pernah kehabisan cerita jika kita menceritakan kisah beliau,” tambah Kiai.

Sementara itu, Antok memahami penjelasan Kiai dengan sedikit kebingungan. Kemudian, tiba-tiba menyahut ceramah Kiai Abdul Komad.

“Jadi intinya, benar apa kata Bapak Ibu Guru di sekolah saya, ya, Pak Kiai? Kalau saya dan teman-teman boleh bermain di masjid?”

Seluruh jemaah tertawa mendengar pertanyaan Antok dengan polosnya.

Magelang, 8 April 2020

 

Tentang Penulis

Muhammad A. Wibisono lahir dan berdikari di Magelang. Bekerja dan mendedikasikan diri sebagai guru di Yogyakarta.